Wednesday 17 August 2011

KARENAH DI BULAN RAMADAN

*klik gambar untuk paparan yang lebih jelas.
makan???

 shopping~!!!

produktivi???

ok ke x ok???


Monday 15 August 2011

Himpunan Hadis (1)


Hadits 1

اِذََا جاَءَ رَمَضَانَُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ

Apabila datang Ramadhan maka dibukalah pintu syurga dan ditutup pintu neraka serta dibelenggu syaitan-syaitan. ( HR. Bukhori Muslim).

Hadits 2
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan landasan iman dan penuh harap akan pahala, maka ia memperoleh keampunan dari dosa-dosa yang lalu ( HR. Muttafaq alaih ).

Hadits 3
لاَيَقْبَلُ اللَّهُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ كََانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتَغَى بِهِ وَجْهَهُ.
Allah tidak menerima amal, kecuali yang dikerjakan dengan ikhlas kerana Dia semata-mata, dan dimaksudkan untuk mencari redha-Nya. ( HR. Ibnu Majah ).

Hadits 4
إِنَّ أَخْوَفَ مَاأَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُِ, قَاَلُوْا : وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُِ يَارَسَُوْلَ اللَّهِ؟
قَالَ : الرِّيَاءُ.
Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil. Sahabat bertanya ; apa syirik kecil itu ya Rasulallah ? Jawab Rasul ( Saw ) : “ Riya’ “ ( HR. Ahmad ).

Hadits 5
......فَإِنَّهُ مَنْ يَعِِشْ مِنْكُمْ فَسَرَاخْتِلاَفًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِاالنَّوَاجِدِ,وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Maka sesungguhnya orang yang hidup diantara kamu kelak akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atasmu berpegang teguh akan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang diberi petunjuk.Dan berpeganglah dengan sunnah-sunnah itu dengan kuat dan jauhilah olehmu bid’ah, sesungguhnya segala bid’ah itu sesat. ( HR. Abu Dawud dan Turmudzi ).

Hadits 6
االمُؤْمِنُ القَوِيُّ اَحَبُّ إِلىاللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ.
Seoranga mu’min yang kuat itu lebih dicintai Allah dari pada mu’min yang lemah, dan pada masing-masing ada kebaikan.( HR,Muslim )

Hadits 7

صُوْمُوْا تَصِحُّوْا

Berpuasalah maka kalian akan sehat.

Hadits 8
عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ رضي الله عنها قالتْ : ياَرسولَ اللهِ أَنُهْلَكُ وَفِيْنَا الصَّالِحُوْنَ ؟ قَالَ : نَعَمْ إِذََا كَثُرَ الخَبَثِ.
Dari ummul mukminin Zainab binti Jahsyin Ra. Berkata; Ya Rasulullah apakah akan diturunkan pada kami semua bencana sedang di tengah-tengah kami ada orang-orang soleh ? Jawab Rasul Saw : ya apabila kebajetan moral ( kekejian ) bermaharajalela.


 Hadits 9
مَنْ قَال: لااله إلاالله وحْدَهُ لآشَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَىَ كُلِّ شيئٍ قديْرٌ, فِيْ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ,كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ, وكُتِبَتْ لَهُ ماِ ئَةُ حَسَنَةٍ, ومُحِيَتْ عَنْهُ مَائَةُ سَيِّئَةٍ, وكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَان يَومَهُ ذلِك حتَّى يُمْسِيْ, ولَمْ يَأْتِ أحَدٌ بِأفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إلا رَجُلٌ  عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْهُ.
Barang siapa membaca :La ilaaha illallahu wahdahu laa syarikalah lahulmulku wahuwa alakulli syai in qodir dalam sehari 100 X, maka baginya pahala seperti membebaskan 10 budak, ditulis untuknya 100 kebaikan, dihapus darinya 100 keburukan, ia dijaga dari gangguan syaitan dari pagi sampai senja, dan tidak ada seorangpun yang dapat meraih lebih baik kecuali seorang yang membaca lebih banyak dari itu. ( HR, Muttafaq alaih ).

Hadits 10
   إِنَّ فِي المَالِ حَقًّا سِوَى الزَّكاَةِ
Sesungguhnya dalam harta kita ada hak fakir miskin selain zakat.( HR.Daruqutni ).

BULAN ISTIMEWA


Ketika ibadah Ramadhan tahun lalu kita akhiri, salah satu harapan yang merasuk kedalam jiwa kita adalah keinginan untuk bisa menjumpai dan menikmati bulan Ramadhan pada tahun berikutnya. Insya Allah, harapan itu akan terpenuhi, karenanya kita berharap semoga Allah Swt benar-benar menyampaikan usia kita pada Ramadhan tahun ini.
            Kalau kita begitu berharap bisa menikmati kembali ibadah Ramadhan pada tahun ini, karena Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Karena itu, kehadiran Ramadhan tahun ini yang tidak akan kita sia-siakan begitu saja. Sebagai orang yang gembira atas kedatangan kembali Ramadhan dan kita bisa memasukinya, maka target yang ingin kita capai adalah mendapatkan nilai-nilai keistimewaan dari bulan Ramadhan itu sendiri sebagai titik awal untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Swt. Lalu, selain keharusan berpuasa sebulan penuh, apa saja keistimewaan bulan Ramadhan itu?.

1.       BULAN AL-QUR’AN
Ramadhan seringkali disebut dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al-Qur’an), karena awal diturunkannya Al-Qur’an adalah pada bulan Ramadhan. Dengan berpedoman pada Al-Qur’an, niscaya perjalanan hidup manusia menjadi terarah dan memberi kebahagiaan, kedamaian, ketentraman dan kemakmuran serta keadilan. Banyak dari kita, kaum muslimin yang sudah jauh dari Al-Qur’an, mulai dari jauh dalam bentuk tidak bisa membacanya, bisa membaca tapi tidak rajin membacanya, rajin membaca tapi tidak memahaminya, memahami tapi tidak mengamalkannya atau sudah mengamalkannya tapi baru untuk dirinya sendiri, belum merangsang atau mengajak orang lain untuk mengamalkannya.
Oleh karena itu, sebagai bulan Al-Qur’an, Ramadhan mengingatkan dan mengetuk hati kita untuk memperkokoh komitmen kepadanya. Bila Ramadhan yang segera kita masuki telah berakhir dan komitmen kita kepada Al-Qur’an semakin kuat, hal itu merupakan indikasi dari keberhasilan ibadah Ramadhan kita, sehingga dalam menjalani kehidupan ini, kita selalu berpedoman kepada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an memang berfungsi sebagai petunjuk dan dalam menilai sesuatu, kitapun menggunakan Al-Qur’an sebagai tolok ukur, karena Al-Qur’an memang berfungsi untuk membedakan antara yang haq (benar) dengan yang bathil (salah), Allah berfirman yang artinya: Bulan Ramadhan adalah bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). (QS 2:185).

2.      PINTU SYURGA DIBUKA, NERAKA DITUTUP.
Setiap muslim pasti ingin sekali bisa masuk syurga dengan segala kenikmatannya dan terhindar dari neraka dengan segala kesengsaraan dan penderitaannya. Ramadhan adalah bulan yang amat memberi peluang kepada kita untuk meraih syurga dan menghindar dari neraka. Namun ini sifatnya tidak otomatis bersamaan dengan datangnya Ramadhan, tapi itu bisa kita raih manakala Ramadhan ini kita penuhi dengan segala bentuk kebajikan, sekecil apapun kebajikan yang kita lakukan itu.
Ramadhan yang merangsang kita untuk melaksanakan segala aktivitas kebajikan akan menghantarkan kita ke pintu syurga yang seluas-luasnya, bahkan bagi orang yang berpuasa, Rasulullah Saw sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyatakan ada pintu khusus untuk masuk syurga itu yang dinamakan dengan Ar Royyan. Sementara dengan ibadah Ramadhan yang sebaik-baiknya, seorang muslim semakin kecil peluangnya akan kemungkinan masuk ke dalam neraka. Itulah salah satu maksud pintu syurga dibuka lebar dan pintu neraka ditutup rapat dengan sebab puasa Ramadhan sebagaimana hadits Nabi Saw:


Jika tiba bulan Ramadhan, maka dibuka pintu-pintu syurga dan ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu semua syaitan (HR. Bukhari dan Muslim).

3.      MEMBELENGGU SYAITAN
Hadits di atas juga menyebutkan dibelenggunya syaitan-syaitan ketika Ramadhan tiba, hal ini karena dengan telaksananya ibadah Ramadhan dengan sebaik-baiknya, syaitan merasa amat sangat sulit mencapai keberhasilan dalam menggoda manusia, sehingga selama Ramadhan itu, syaitan betul-betul merasa terbelenggu atau sangat terbatasi keleluasaannya dalam menggoda manusia.
Dengan demikian, sebagai muslim, kita harus aktif dalam membelenggu syaitan melakukan aktivitasnya menyesatkan manusia, dan bulan Ramadhan adalah kesempatan yang amat baik untuk melatih kekuatan rohani kita untuk bisa membatasi ruang gerak syaitan dalam diri kita masing-masing.

4.      AMPUNAN DOSA.
Ibadah Ramadhan yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya juga akan memberi keuntungan atau keistimewaan bagi kita dengan diampuninya dosa-dosa kita dimasa lalu oleh Allah Swt. Ini merupakan peluang yang sangat besar yang diberikan Allah dan kita tidak boleh mensia-siakan kesempatan ini. Kenapa demikian?. Karena sudah begitu banyak dosa yang kita lakukan, dosa anak kepada orang tua, dosa orang tua kepada anak, dosa isteri kepada suami, dosa suami kepada isteri, dosa pemimpin pada rakyat, dosa rakyat pada pemimpin, dosa murid kepada guru, dosa guru kepada murid dan begitulah seterusnya. Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR Bukhari).
Kalau peluang yang begitu besar ini kita abaikan, peluang mana lagi yang ingin kita ambil. Memang tahun depan, Ramadhan akan kembali tiba kalau kiamat belum terjadi, tapi yang jadi masalah adalah usia kita yang belum tentu sampai, sebagaimana banyak orang diantara keluarga, teman, jamaah dan masyarakat kita yang sudah tidak bisa berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan tahun ini karena mereka telah meninggal dunia..

5.      MEMPERKUAT BENTENG PERTAHANAN.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah Saw menyatakan: ash shiyamu junnatun (puasa itu adalah benteng). Dalam suatu peperangan, diperlukan benteng untuk memantapkan pertahanan. Dalam kehidupan seorang muslim, terjadi kecamuk perang dalam jiwanya antara yang haq dan yang bathil. Untuk bisa memenangkan peperangan itu, seorang muslim harus memiliki benteng pertahanan yang kuat sehingga bisa menghalau segala godaan syaitan.
Puasa sebagai upaya memperkuat benteng pertahanan rohani merupakan sesuatu yang amat penting. Tersebarluasnya kemaksiatan dan kemunkaran, sulitnya memperkokoh persatuan Islam dan umat Islam pada hakikatnya adalah karena lemahnya kekuatan rohani yang membuat syaitan menjadi begitu berkuasa atas diri kita. Karena itu, dalam kondisi kehidupan masyarakat kita yang masih amat jauh dari nilai-nilai Islam, peran puasa Ramadhan menjadi sesuatu yang amat mendasar dalam membentengi jiwa umat dalam menghadapi godaan-godaan syaitan yang tiada henti.

6.      PAHALA BESAR
Keistimewaan penting dari bulan Ramadhan adalah diberikannya pahala yang begitu besar kepada siapa saja yang melakukan kebajikan atau amal yang shaleh. Hal ini akan membuat kita semakin terlatih atau terbiasa untuk melakukan amal-amal yang shaleh. Sebagai sebuah contoh, untuk orang yang memberi makan atau minum kepada orang yang berbuka puasa, maka Allah Swt akan memberikan pahala puasa orang yang diberi makan atau minum itu tanpa mengurangi pahala orang tersebut.
Ibadah Ramadhan memang memberikan janji perolehan pahala yang besar. Dengan pahala yang besar itu kita terangsang untuk beramal shaleh yang sebanyak-banyaknya, lalu kita menjadi terbiasa melakukannya.
            Akhirnya menjadi jelas bagi kita bahwa, begitu banyak keistimewaan bulan Ramadhan yang membuat kita tidak boleh mengabaikannya begitu saja. Karena itu, kehadiran Ramadhan pada tahun ini akan kita optimalkan sebagai momentum untuk meningkatkan proses tarbiyyah (pendidikan) bagi diri, keluarga dan masyarakat kita kearah terwujudnya pribadi, keluarga dan masyarakat yang selalu berada dalam ketaqwaan kepada Allah Swt. 

Sunday 7 August 2011

Perkara yang ditinggalkan....


Antara perkara yang telah ditinggalkan umat ialah memanfaatkan kemudahan dan kelonggaran hukum yang diberikan oleh syari`at Islam kepada orang yang berpuasa. Islam adalah satu agama yang mudah lagi memudahkan. 

Allah Subhanahu wa Ta`ala telah berfirman:
"Allah tidak memberati seseorang melainkan apa yang terdaya olehnya." [al-Baqarah 2:286]. 

Berdasarkan firman-Nya ini, Allah telah memberi beberapa kemudahan atau kelonggaran hukum di dalam syari`at Islam. Sangat dianjurkan untuk memanfaatkan kemudahan dan kelonggaran ini sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam:
"Sesungguhnya Allah menyukai keringanan-keringanan hukum-Nya diamalkan sebagaimana Ia benci larangan-larangan-Nya dikerjakan." [Musnad Ahmad – no: 5866 dan dinilai sahih oleh Syaikh Syu`aib al-Arna'uth]

Bagi ibadah puasa, Allah telah memberi kelonggaran hukum kepada tiga kategori keuzuran. Daripada tiga kategori ini, hanya kategori pertama yang dimanfaatkan manakala dua kategori yang selebihnya jarang-jarang dimanfaatkan. Tiga kategori tersebut adalah:

Kategori pertama:
Keuzuran yang mewajibkan seseorang itu untuk tidak berpuasa dan dia wajib mengqadhanya selepas itu. Ini adalah keuzuran yang dialami oleh para wanita yang didatangi haid dan nifas.

Kategori kedua:
Keuzuran yang memberi pilihan kepada seseorang untuk berpuasa atau tidak dan faktor keuzuran tersebut hilang selepas bulan Ramadhan berakhir. Maka dia wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan.

Contohnya:
1.    Orang yang bermusafir di dalam bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa. Setelah bulan Ramadhan dia tidak lagi bermusafir, maka dia wajib qadha puasa yang ditinggalkan itu. [Lebih lanjut rujuk artikel penulis Kemudahan Puasa Ramadhan Ketika Musafir]
2.    Orang yang sakit di dalam bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa kerana yakin sama ada berdasarkan pengalaman atau nasihat doktor pakar bahawa berpuasa akan memudaratkan lagi kesihatannya. Setelah itu dia kembali sihat, maka dia wajib qadha puasa yang ditinggalkan itu.
3.    Orang yang terpaksa bekerja keras di dalam bulan Ramadhan sehingga dia tidak terdaya berpuasa. Akan tetapi selepas itu dia tidak lagi membuat apa-apa kerja keras, maka dia wajib qadha puasa yang ditinggalkan itu.
4.    Seorang ibu yang mengandung atau menyusukan anak di dalam bulan Ramadhan, dia memilih untuk tidak berpuasa demi menjaga kesihatan diri dan anaknya. Setelah itu dia tidak lagi mengandung atau menyusukan anak. Maka dia wajib qadha puasa yang ditinggalkan itu.

Kategori ketiga:
Keuzuran yang memberi pilihan kepada seseorang untuk berpuasa atau tidak dan faktor keuzuran tersebut tetap wujud selepas bulan Ramadhan berakhir. Maka dia tidak wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan tetapi hanya perlu membayar fidyah, iaitu bagi setiap hari yang ditinggalkan, dia memberi makan kepada satu orang miskin dengan kadar yang dapat mengenyangkan orang tersebut.

Contoh bagi kategori ketiga ini:
1.    Orang yang mengalami sakit yang tetap atau berpanjangan, seperti kanser, gastrik yang serius, lumpuh atau semata-mata kerana tua. Dia tidak dapat berpuasa sama ada di dalam bulan Ramadhan atau selepasnya. Maka orang seperti ini tidak wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya, dia hanya wajib membayar fidyah.
2.    Orang yang terpaksa bekerja keras (hard labour) secara tetap seperti pekerja buruh, pembinaan, lombong dan sebagainya. Dia tidak dapat berpuasa sama ada di dalam bulan Ramadhan atau selepasnya. Maka orang seperti ini tidak wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya, dia hanya wajib membayar fidyah.
3.    Seorang ibu yang mengandung atau menyusukan anak di dalam bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa. Namun menjelang Ramadhan seterusnya, dia telah mengandung kembali atau masih menyusukan anak. Maka bagi si ibu dia tidak wajib mengqadha puasa yang ditinggalkannya, dia hanya wajib membayar fidyah. 

Dalil bagi kelonggaran kategori pertama:

A'isyah radhiallahu 'anha berkata:
      "Apabila yang demikian itu (haid) menimpa kami, maka kami disuruh (oleh Rasulullah) mengqadha puasa namun tidak disuruh untuk mengqadha solat." [Shahih Muslim – no: 335 (Kitab al-Haid)] Daripada keterangan A'isyah di atas, dapat difahami bahawa seorang wanita yang didatangi haid tidak diwajibkan bersolat dan berpuasa. Ini kerana perkataan "...disuruh mengqadha puasa namun tidak disuruh
untuk mengqadha solat" menunjukkan dua ibadah tersebut pada asalnya tidak diwajibkan dalam waktunya ke atas wanita yang didatangi haid. Hukum yang sama diterapkan ke atas wanita yang didatangi nifas. Hikmah kelonggaran ini adalah kerana apabila seorang wanita didatangi haid dan nifas, mereka mengalami gangguan yang berat ke atas kesihatan badan mereka. Ini kerana pertukaran hormon dan
kehilangan darah pada saat itu sememangnya memberi kesan ke atas kesihatan tubuh badan. Mewajibkan puasa dan solat pada keadaan seperti ini hanya akan memberatkan lagi kesan yang sedang dihadapi. Dengan itu Allah memudahkan kepada mereka untuk tidak berpuasa dan tidak bersolat pada saat didatangi haid dan nifas. Perhatikan juga bahawa di dalam kelonggaran ini, mereka hanya diwajibkan mengqadha puasa dan bukan solat. Sekalipun solat adalah ibadah yang paling penting, mengqadhanya akan memberatkan para wanita kerana ia melibatkan jumlah yang banyak dan pengulangan yang kerap. Berbeza dengan mengqadha puasa, ia tidak melibatkan jumlah yang banyak mahupun pengulangan yang kerap. Sememangnya Allah adalah tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Mengasihi. [Lebih lanjut rujuk buku yang disunting oleh penulis berjudul Petunjuk al-Qur'an dan al-Sunnah Berkenaan Haid, Istihadah dan Nifas terbitan Jahabersa, Johor Bahru 2004]

Dalil bagi kelonggaran kategori kedua dan ketiga:

Firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:(184).
Wahai orang-orang yang beriman! Kamu diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang dahulu daripada kamu, supaya kamu bertaqwa.(Puasa yang diwajibkan itu ialah) beberapa hari yang tertentu; maka sesiapa di antara kamu yang sakit, atau dalam musafir, (bolehlah ia berbuka), kemudian wajiblah ia berpuasa sebanyak (hari yang dibuka) itu pada hari-hari yang lain; dan wajib atas orang-orang yang tidak terdaya berpuasa (kerana tua dan sebagainya) membayar fidyah iaitu memberi makan orang miskin. Maka sesiapa yang dengan sukarela memberikan (bayaran fidyah) lebih dari yang ditentukan itu, maka itu adalah suatu kebaikan baginya; dan (walaupun demikian) berpuasa itu lebih baik bagi kamu (daripada memberi fidyah), kalau kamu mengetahui. [al-Baqarah 2:183-184]

Daripada dua ayat di atas jelas bahawa puasa adalah wajib kecuali kepada orang yang sakit atau musafir. Pengecualian ini adalah kerana orang yang sedang sakit atau musafir lazimnya mengalami kesukaran untuk berpuasa. Maka "kesukaran" adalah faktor penentu sama ada untuk berpuasa atau tidak. 
Berdasarkan kaedah qiyas, mana-mana orang yang mengalami kesukaran untuk berpuasa sekalipun tidak sakit atau musafir, seperti pekerja keras (hard labour) dan ibu yang mengandung atau menyusukan anak, mereka juga dikecualikan daripada kewajipan berpuasa.Sama ada mereka wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan atau hanya membayar fidyah, hal ini ditentukan oleh firman Allah: "…kemudian wajiblah ia berpuasa sebanyak (hari yang dibuka) itu pada hari-hari yang lain; dan wajib atas orang-orang yang tidak terdaya berpuasa membayar fidyah iaitu memberi makan orang miskin." Pembeza antara mengqadha puasa atau membayar fidyah adalah dengan memerhatikan sama ada faktor keuzuran yang menyebabkan dia meninggalkan puasa masih wujud atau tidak. Jika faktor keuzuran telah hilang, maka baginya ialah: "…kemudian wajiblah ia berpuasa sebanyak (hari yang dibuka) itu pada hari-hari yang lain…". Jika faktor kesukaran masih wujud, maka baginya ialah: "…dan wajib atas orang-orang yang tidak terdaya berpuasa membayar fidyah iaitu memberi makan orang miskin." Mungkin timbul persoalan lanjut bahawa terdapat beberapa riwayat daripada kalangan sahabat bahawa ayat 184 surah al-Baqarah telah dibatalkan oleh ayat 185, iaitu:
(Masa yang diwajibkan kamu berpuasa itu ialah) bulan Ramadan yang padanya diturunkan Al-Quran, menjadi petunjuk bagi sekalian manusia, dan menjadi keterangan-keterangan yang menjelaskan petunjuk dan (menjelaskan) perbezaan antara yang benar dengan yang salah. Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah ia berpuasa bulan itu;
dan sesiapa yang sakit atau dalam musafir maka (bolehlah ia berbuka, Kemudian wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Dengan ketetapan yang demikian itu) Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan, dan Ia tidak menghendaki kamu menanggung kesukaran. Dan juga supaya kamu cukupkan bilangan puasa (sebulan Ramadan), dan supaya kamu membesarkan Allah kerana mendapat petunjukNya, dan supaya kamu bersyukur. [al-Baqarah 2:185]

Dalam ayat di atas, orang yang tidak berpuasa kerana sakit atau musafir diwajibkan mengqadha puasanya. Ayat di atas tidak lagi membezakan sama ada faktor keuzuran masih wujud atau telah hilang.Untuk menjawab persoalan ini, perlu diketahui bahawa maksud nasikh dan mansukh di sisi generasi Salaf bukanlah bererti pembatalan hukum
sepertimana yang dikenali masa kini tetapi ia bererti pengkhususan atau pengecualian atau penjelasan daripada satu keumuman. [Lebih lanjut rujuk I'lam al-Muwaqi`in oleh Ibn al-Qayyim (edisi terjemahan oleh Asep & Kamaluddim; Pustaka Azzam, Jakarta 2000), jld. 1, ms. 39 (Muqaddimah, Bab Pengertian Nasikh & Mansukh) dan al-Muwafaqat oleh al-Syaitibi (diteliti oleh `Abd Allah Darraz & Ibrahim Ramadhan; Dar al-Ma`arif, Beirut 1996), jld. 3, ms. 75 (Bab al-Nasakh dengan
maksud al-Takhsis, wa al-Taqyid wa al-Bayan).] 

Maka ayat 185 surah al-Baqarah bukanlah membatalkan ayat 184, tetapi ia mengkhususkan bahawa orang yang tidak berpuasa kerana sakit atau musafir hendaklah mengqadha puasanya. Akan tetapi pengkhususan ini hanyalah bagi orang yang mampu mengqadha, yakni yang telah hilang
faktor kesukarannya. Adapun bagi orang yang tidak mampu mengqadha kerana faktor kesukaran masih wujud, mereka tidak termasuk di dalam pengkhususan ini. Rujukan mereka tetap kepada ayat 184 surah al-Baqarah.

Friday 5 August 2011

Ke Arah Menghayati Solat Tarawih.



Abu Hurairah radhiallahu 'anh menerangkan bahawa:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menganjurkan pada malam Ramadhan dengan anjuran yang bukan berupa perintah yang tegas. Baginda bersabda: Sesiapa beribadah pada malam Ramadhan kerana iman (yang teguh) dan mengharapkan ganjaran (daripada Allah), diampunkan dosa-dosanya yang telah lepas. 
[Shahih Muslim – hadis no: 759 (Kitab Solat, Bab Anjuran beribadah pada malam Ramadhan…)]
 
Berdasarkan hadis ini, umat Islam sejak zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sehinggalah ke hari ini tidak pernah melepaskan peluang untuk memanfaatkan malam-malam bulan Ramadhan dengan bersolat Tarawih, membaca al-Qur'an dan sebagainya. Dengan harapan agar kita semua benar-benar dapat menghayati solat Tarawih dengan cara yang sebaik-baiknya selari dengan tuntuan al-Qur'an dan al-Sunnah, ada beberapa perkara yang dirasakan perlu untuk dibawa kepada perhatian para pembaca sekalian.

Pertama: Solat Tarawih hukumnya sunat.

Daripada hadis Abu Hurairah radhiallahu 'anh di atas, jelas kepada kita bahawa solat Tarawih hukumnya tidak wajib. Para ilmuan Islam mengkategorikannya sebagai sunat muakad, iaitu amalan sunat yang amat dituntut. Oleh itu bagi seseorang yang hendak mendirikan solat Tarawih, hendaklah dia perhatikan bahawa dia tidak mengabaikan amalan-amalan wajib atau amalan-amalan lain yang lebih besar
manfaatnya. 

Dalam ertikata lain, hendaklah dia beramal berdasarkan Fiqh al-Awlawiyyat iaitu memprioritikan sesuatu amalan yang bakal dilakukan.Perlu digariskan bahawa ciri-ciri Muslim yang berjaya ialah seseorang yang mampu menimbang dan membezakan amalan manakah yang paling utama untuk dia beri perhatian pada satu masa tertentu. 

Prioriti amal perlu dibezakan seperti berikut:

1.      Amal yang wajib hendaklah diberi prioriti di atas amal yang sunat.

2.      Amal yang manfaatnya untuk jangka masa panjang hendaklah diberi prioriti di atas amal yang manfaatnya untuk jangka masa pendek.

3.      Amal yang manfaatnya untuk orang yang besar jumlahnya hendaklah diberi prioriti di atas amal yang manfaatnya untuk orang yang kecil jumlahnya.

4.      Amal yang manfaatnya untuk orang lain hendaklah diberi prioriti di atas amal yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri.Maka atas konsep Fiqh al-Awlawiyyat, jika seseorang itu terpaksa memilih antara menjaga ibubapa yang uzur dan bersolat Tarawih, hendaklah dia memilih untuk menjaga ibubapanya. Jika seseorang terpaksa memilih antara menuntut ilmu dan bersolat Tarawih, hendaklah dia memilih untuk menuntut ilmu.Walaubagaimanapun, sekalipun seseorang itu memilih untuk menjaga
ibubapa atau menuntut ilmu, dia masih boleh melaksanakan solat Tarawihnya. Ini kerana solat Tarawih adalah satu amalan yang amat fleksibel. Hal ini akan dikupas dalam perbincangan seterusnya. Sementara itu ingin ditegaskan bahawa orang yang sedang menjaga ibubapanya yang uzur tetap boleh bersolat Tarawih dengan bersolat di sisi ibubapanya sambil memerhatikan mereka di antara solat. Seseorang yang sedang menuntut ilmu tetap boleh mendirikan solat Tarawihnya dalam rangka berehat sebentar di antara tempoh penuntutannya.

Kedua: Solat Tarawih boleh dilaksanakan secara berjamaah atau bersendirian. 



Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan solat Tarawih, baginda adakalanya melaksanakannya secara berjamaah dan adakalanya secara bersendirian di rumah. 

Abu Dzar al-Ghafiri radhiallahu 'anh menerangkan bahawa:
Kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam bulan Ramadhan. Baginda tidak bersolat (Tarawih) bersama kami sehingga baki tujuh malam terakhir. Lalu (pada malam tersebut) baginda bersolat (Tarawih) bersama kami sehingga sepertiga malam. Kemudian baginda tidak bersolat (Tarawih) bersama kami pada malam keenam (sebelum akhir Ramadhan). Baginda bersolat (Tarawih) bersama
kami pada malam kelima (sebelum akhir Ramadhan) sehingga seperdua malam.

Maka saya (Abu Dzar) berkata: "Ya Rasulullah, alangkah baiknya jika kamu memberi keringanan kepada kami pada malam ini." Rasulullah menjawab: "Sesungguhnya sesiapa yang bersolat (Tarawih) bersama imam sehingga selesai maka Allah Menulis baginya (ganjaran seumpama) bersolat sepanjang malam." 
[Sebahagian daripada hadis yang diriwayat Imam al-Nasa'i dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih
Sunan al-Nasai – hadis no: 1604 (Kitab Solat malam, Bab Solat Malam pada bulan Ramadhan)]

Dalam hadis ini terdapat dua pengajaran penting:

1.      Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak melaksanakan solat Tarawih secara tetap sepanjang bulan Ramadhan. Akan tetapi baginda melaksanakannya secara bersendirian kecuali pada beberapa malam terakhir. Tujuannya adalah supaya umat dapat mengetahui bahawa solat Tarawih tidak semestinya berjamaah, akan tetapi boleh dilakukan sama ada secara berjamaah atau bersendirian.

2.      Jika seseorang itu memiliki pilihan sama ada untuk melaksanakan solat Tarawih secara berjamaah atau bersendirian, adalah lebih utama untuk dia melaksanakannya secara berjamaah berdasarkan sabda baginda yang bermaksud: "Sesungguhnya sesiapa yang bersolat (Tarawih) bersama imam sehingga selesai maka Allah Menulis baginya (ganjaran seumpama) bersolat sepanjang malam."
Walaubagaimanapun pemilihan untuk melaksanaan solat Tarawih secara berjamaah hendaklah tetap ditimbang berdasarkan Fiqh al-Awlawiyyat sebagaimana yang telah disebut di atas.

Ketiga: Tidak ada ketetapan bagi jumlah rakaat solat Tarawih.

Jika dikaji semua riwayat berkenaan jumlah rakaat solat Tarawih yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan generasi al-Salaf al-Shalih radhiallahu 'anhum selepas kewafatan baginda, dapat dirumuskan bahawa sebenarnya tidak ada ketetapan tertentu bagi jumlah rakaat solat Tarawih. Solat Tarawih termasuk dalam kategori solat sunat pada malam hari. 

Imam Muhammad bin Nashr
al-Mawarzi rahimahullah (294H) di dalam kitabnya Qiyam al-Ramadhan menyebut:
Aku bertanya kepada (Imam) Ahmad bin Hanbal (rahimahullah 241H) tentang jumlah rakaat yang dia lakukan untuk solat Qiyam Ramadhan (Solat Tarawih). Saat itu dia menjawab: "Dalam masalah ini ada kepelbagaian sehingga mencapai 40 macam. Ini kerana solat tersebut (Qiyam Ramadhan/Solat Tarawih) tidak lain hanyalah solat
sunat biasa.
 [Dinukil daripada buku Syaikh Ismail al-Anshari yang berjudul Tashhih Hadits Solat al-Tarawih Isyrin Rakaah wa al-Radd `ala al-Albani fi Tadh`aifhi; edisi terjemahan oleh Mahfud Hidayat dengan judul Otentisitas Hadis Shalat Tarawih 20 Rakaat (Pustaka Firdaus, Jakarta 2003), ms. 83]

 
Solat-solat sunat malam boleh dilaksanakan daripada selesai solat Isyak sehinggalah terbit fajar tanpa memiliki apa-apa batas minimum atau maksimum bagi jumlah rakaatnya. `Abd Allah ibn `Umar radhiallahu 'anhuma menerangkan:
Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ketika itu baginda sedang berkhutbah. Lelaki itu bertanya: "Bagaimana cara solat malam?" Baginda menjawab: "Dua rakaat dua rakaat, maka apabila kamu bimbang waktu Subuh akan masuk, maka tutupilah solat-solat kamu itu dengan satu rakaat solat Witir.

[Shahih al-Bukhari – hadis no: 473 (Kitab Solat, Bab Duduk berlingkaran dalam masjid)]Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H) berkata:Sesungguhnya tentang solat Qiyam Ramadhan (Solat Tarawih), Nabi (shallallahu 'alaihi wasallam) tidak menentukan jumlah rakaatnya, hanya sahaja baginda sendiri melaksanakannya tidak lebih daripada 13 rakaat sama ada dalam bulan Ramadhan atau selainnya. Ini baginda laksanakan dengan memanjangkan rakaatnya.

Apabila `Umar (radhiallahu 'anh) mengumpulkan orang-orang untuk berjamaah (mengerjakan Solat Tarawih) dengan diimami oleh Ubay bin Ka'ab (radhiallahu 'anh), dia melaksanakannya bersama mereka sebanyak 20 rakaat kemudian diikuti solat Witir 3 rakaat. Ini beliau lakukan
dengan meringankan bacaan al-Qur'an selari dengan kadar penambahan rakaat supaya ia meringankan berbanding solat satu rakaat dengan dipanjangkan bacaannya.

Setelah itu sekumpulan daripada generasi salaf melaksanakan solat (Tarawih) secara 40 rakaat dan solat Witir 3 rakaat manakala selainnya dengan 36 rakaat dan 3 rakaat Witir. Semua ini telah berlaku dan dengan itu, sesiapa sahaja yang beribadah pada malam Ramadhan dengan apa sahaja jumlah rakaat, maka dia (dikira) telah berbuat kebaikan.Yang utama adalah perbezaan jumlah rakaat dikira berdasarkan kepada beragamnya keadaan orang-orang yang mengerjakan solat tersebut.

Jika keadaan mereka memungkinkan dilaksanakan solat (Tarawih) dengan lama, maka adalah lebih afdal melaksanakan solat (Tarawih) dengan 10 rakaat dan 3 Witir sebagaimana yang dilaksanakan sendiri oleh Nabi (shallallahu 'alaihi wasallam) dan selainnya. Akan tetapi apabila tidak mungkin melaksanakan sedemikian, maka melaksanakan solat (Tarawih) dengan 20 rakaat adalah lebih afdal dan itulah yang
dilakukan oleh majoriti umat Islam kerana yang demikian itu adalah dipertengahan antara 10 rakaat dan 40 rakaat. Dan jika dilaksanakan solat (Tarawih) dengan 40 rakaat atau selainnya maka itu diperbolehkan dan tidak dimakruhkan sama sekali.

Hal ini ditegaskan oleh tidak seorang dari para imam seperti Imam Ahmad (bin Hanbal) dan selainnya. Dan sesiapa yang beranggapan bahawasanya solat Qiyam Ramadhan (Solat Tarawih) mempunyai ketentuan jumlah rakaatnya daripada Nabi (shallallahu 'alaihi wasallam) tanpa boleh ditambah atau dikurangi daripadanya, maka sungguh dia telah membuat suatu kesilapan.
[Majmu' al-Fatawa (Dar al-Wafa', Kaherah 2001), jld. 22, ms. 272]
Setelah menghimpun dan mensyarah semua hadis-hadis yang ada di dalam bab solat Tarawih, Imam asy-Syaukani rahimahullah (1252H) membuat rumusan:

Kesimpulannya, hadis-hadis di dalam bab ini (Solat Tarawih) menunjukkan kepada pensyari'atan melaksanakan solat pada malam bulan Ramadhan. Solat ini boleh dilaksanakan secara berjamaah atau sendirian. (Adapun) membatasi solat ini dengan nama "Solat Tarawih" dengan jumlah rakaat yang tertentu dan mengkhususkannya dengan bacaan-bacaan tertentu tidak pernah ditunjuki oleh sunnah. [Nail al-
Authar min Asrar Muntaqa al-Akhbar (Dar al-Turats al-`Arabi, Beirut 2000), jld. 2, ms. 269]

Daripada nukilan-nukilan di atas, dapat dirumuskan beberapa poin
penting:

1.      Solat Tarawih sebenarnya adalah solat sunat malam. Ia hanya berbeza dari sudut istilah, tidak dari sudut hakikatnya. Oleh itu jumlah rakaat bagi solat Tarawih tidak ada batasnya sebagaimana kebiasaan solat sunat malam.

2.      Membiasakan gelaran "Solat Tarawih" menyebabkan sebahagian orang menganggapnya sebagai solat sunat yang khusus. Dengan itu mereka juga mengkhususkan rakaat yang tertentu dan bacaan surah-surah yang tertentu pada rakaat yang tertentu. Sebenarnya pengkhususan ini adalah tidak berasas.

3.      Seseorang itu, berdasarkan Fiqh al-Awlawiyyat dirinya sendiri, boleh melaksanakan solat Tarawih dengan jumlah rakaat yang sesuai dengan keadaanya. Masing-masing individu boleh melaksanakan solat Tarawih dengan jumlah rakaat yang dicenderunginya tanpa ada pihak yang boleh mengatakan itu benar atau salah.

Diketahui bahawa ada sebahagian pihak yang berpendapat bahawa solat Tarawih adalah 8 rakaat diikuti solat Witir 3 rakaat dan jumlah ini tidak boleh ditambah atau dikurangi. Pendapat ini adalah lemah sebagaimana yang dibuktikan oleh Syaikh Ismail al-Anshari dalam bukunya yang berjudul Tashhih Hadits Solat al-Tarawih Isyrin Rakaah wa al-Radd `ala al-Albani fi Tadh`aifhi. Ia telah diterjemahkan
dengan judul Otentisitas Hadis Shalat Tarawih 20 Rakaat terbitan Pustaka Firdaus, Jakarta 2003. Selain itu diketahui juga bahawa ada pihak yang berpendapat solat Tarawih adalah 20 rakaat diikuti solat Witir 3 rakaat dan jumlah ini tidak boleh ditambah atau dikurangi. Pendapat ini juga adalah lemah sebagaimana yang telah penulis bahas dalam buku Solat Tarawih: Satu Perbahasan Ke Atas Fatwa yang
Menetapkannya Kepada 20 Rakaat terbitan Jahabersa, Johor Bahru 2000.

Keempat: Beberapa sifat solat yang diremehkan.

Sebahagian orang apabila melaksanakan solat Tarawih atau mana-mana solat sunat yang lain, mereka meremehkan beberapa sifat solat atas alasan ini hanya solat sunat, bukan solat wajib. Sifat-sifat solat yang diremehkan ini ada yang merosakkan kesempurnaan solat dan ada yang membatalkan terus solat tersebut. Di antara sifat solat yang diremehkan adalah:

a)      Tidak membaca al-Qur'an dengan tartil.

Firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:
Dan bacalah al-Qur'an dengan tartil [al-Muzammil 73:04]Membaca al-Qur'an dengan tartil bererti membaca dengan jelas kalimah-kalimahnya sambil memerhatikan disiplin hukum-hukum tajwidnya.

b)      Mengabaikan Thama'ninah.

Mengabaikan thama'ninah, yakni kekal di dalam sesuatu pergerakan solat sehingga merasa tenang di dalamnya, bukan sahaja mengurangi kualiti solat tetapi boleh mengakibatkan terbatalnya. Abu Hurairah radhiallahu 'anh meriwayatkan bahawa pada satu ketika pernah seorang lelaki bersolat di dalam masjid sambil diperhatikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Apabila lelaki itu selesai bersolat,
baginda menyuruh dia bersolat semula dengan bersabda: "Kembalilah bersolat kerana sesunguhnya kamu masih belum bersolat." Hal ini berulang sebanyak 3 kali sehingga akhirnya lelaki itu mengakui bahawa dia tidak tahu bagaimana lagi untuk membetulkan solatnya. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajar dia dengan bersabda:
Apabila kamu berdiri untuk solat, bertakbirlah, kemudian baca daripada al-Qur'an apa yang memudahkan bagi kamu.

Kemudian rukuklah sehingga kamu kekal tenang di dalamnya (tohmaninah), kemudian berdirilah semula sehingga kamu tegak di dalamnya, kemudian bersujudlah sehingga kamu kekal tenang di dalamnya (tohmaninah), kemudian duduklah sehingga kamu kekal tenang di dalamnya (tohmaninah) dan lakukanlah sedemikian bagi keseluruhan solat kamu. [Shahih al-Bukhari – hadis no: 757 (Kitab Azan)]

Penekanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk kekal di dalam setiap pergerakan solat sehingga merasa tenang (thama'ninah) menunjukkan bahawa itulah kesilapan yang dilakukan oleh lelaki tersebut sehingga menyebabkan solatnya tidak dikira sah oleh Rasulullah. Thama'ninah juga disyaratkan kita iktidal sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Humaid radhiallahu 'anh:
Apabila baginda mengangkat kepadanya (daripada rukuk), baginda berdiri sehingga setiap daripada kepingan tulang belakangnya berada di posisi yang asal. [Shahih Bukhari – hadis no: 0828 (Kitab Azan)]Ada yang berpendapat lamanya tempoh thama'ninah adalah sekadar seseorang itu membaca "Alhamdulillah" atau "Subhanallah", akan tetapi pendapat ini tidak diperoleh dalilnya. 

Yang dicenderungi sebagai sesuatu yang mendekati kebenaran adalah bahawa thama'ninah
itu wajib megekalkan seseorang itu dalam satu posisi secara tenang sehingga dia dapat melengkapkan seluruh bacaan tasbih atau doanya. Ini kerana seseorang itu tidak dapat dikatakan telah rukuk atau iktidal atau sujud dengan dia dapat menyempurnakan bacaannya dalam posisi tersebut. Shaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata: Tempoh thama'ninah dalam rukuk dan sujud adalah lebih kurang selama
3 kali bacaan tasbih. 

Sebab menurut sunnah, pada waktu rukuk dan sujud bacaan tasbih adalah 3 kali dan itu adalah yang paling minima, maka lamanya tempoh thama'ninah adalah sekurang-kurangnya (dilengkapkan )3 kali bacaan tasbih. [Dinukil daripada buku Fatawa Mu`ashirah (edisi terjemahan oleh al-Hamid al-Husaini dengan judul Fatwa-Fatwa Mutakhir; Pustaka Hidayah, Bandung 1996), ms. 415]

c)      Bersolat dengan terburu-buru.

Antara perbuatan yang tidak disukai dalam solat, sama ada solat wajib mahupun solat sunat, ialah terburu-buru dalam melaksanakannya. Allah Subhanahu wa Ta`ala telah berfirman:
Sesungguhnya berjayalah orang-orang yang beriman, iaitu mereka yang khusyuk dalam solatnya. [al-Mu'minun 23:1-2]Khusyuk di dalam solat bukan sekadar prihatin kepada bacaan-bacaannya tetapi juga kepada pergerakan-pergerakan solat sehingga dapat memelihara kesempurnaannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengingatkan:

Sempurnakanlah rukuk dan sujud kerana sesungguhnya perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan rukuknya dan sujudnya adalah seperti orang yang lapar, tidaklah dia makan kecuali satu atau dua biji kurma yang tidak mencukupkannya sama sekali (maksudnya – tidak mendapat apa-apa manfaat daripada solatnya). [Musnad Abu Ya'la – hadis no: 7184 dengan isnad yang dinilai jayyid oleh Husain Salim Asad]

d)      Meringkaskan bacaan selawat di dalam solat.

Ramai yang berpendapat selawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di dalam bacaan tasyahud hanya wajib sekadar "Allahumma sholli `ala Muhammad" manakala bacaan selebihnya sehingga "Fil `Alamina innaka hamidun majid" hanyalah sunat. Atas pendapat ini ada yang melaksanakan solat Tarawih dengan diringkaskan
bacaan selawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Sebenarnya tidak ada dalil yang menyatakan bahawa bacaan selawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di dalam solat boleh dibezakan antara yang wajib dan sunat, antara duduk tasyahud awal dan duduk tasyahud akhir. Imam al-Shan`ani rahimahullah (1186H)
berkata: Selawat bagi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (di dalam solat)
adalah tidak sempurna tanpa disertai selawat terhadap keluarga baginda. 

Orang yang bersolat hanya dianggap telah berselawat kepada Nabi apabila dia mengucapkan lafaz selawat secara lengkap sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di mana di dalamnya termasuk selawat kepada keluarga baginda. Hal ini
berdasarkan (hadis di mana) sahabat bertanya: "Bagaimana kami mengucapkan selawat kepada kamu?" Lalu baginda menjawab dengan menjelaskan bahawa cara selawat adalah selawat ke atas dirinya dan ahli keluarganya.

Sesiapa yang tidak mengucapkan selawat bagi keluarga baginda (di dalam solat) maka bererti dia belum mengucapkan selawat yang sesuai dengan cara selawat yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bererti dia belum melaksanakan perintah dengan sebenarnya. Oleh itu dia belum termasuk orang yang berselawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Begitu juga dengan lanjutan hadis
mulai dari "Kama sholaita……" dan seterusnya, ia wajib dibaca kerana termasukyang diperintahkan daripada bacaan selawat tersebut.Sesiapa yang membezakan antara bacaan-bacaan selawat dengan mengatakan wajib sebahagian sahaja dan sunat sebahagian yang lain, maka itu adalah pendapat yang tanpa dalil. [Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram (Dar al-Arqam, Beirut), jld. 1, ms. 219] [Untuk hadis-hadis yang mengajar cara berselawat yang lengkap, rujuk buku penulis Marilah Berselawat Kepada Rasulullah terbitan Jahabersa, Johor Bahru 2002]

e)      Tidak menjaga disiplin berjamaah

Termasuk beberapa sifat solat yang diremehkan ialah tidak menjaga disiplin berjamaah apabila melaksanakan solat Tarawih secara berjamaah. Antara displin yang lazim diremehkan ialah melurus dan merapatkan saf. Melurus dan merapatkan saf merupakan ciri kesempurnaan solat berjamaah manakala merenggangkan saf bererti
membuka ruang bagi syaitan masuk di antaranya. Disiplin solat berjamaah yang lain yang perlu diperhatikan ialah mengikuti imam tanpa mendahuluinya atau ketinggalan daripadanya. Ketahuilah bahawa solat berjamaah adalah lambang kesatuan umat Islam.

Apabila ahli-ahli jamaah tidak berdisiplin dalam menjaganya, ia memberi gambaran
akan betapa lemahnya kesatuan umat. Demikian beberapa sifat solat yang lazimnya diremehkan, di antaranya ada yang merosakkan kesempurnaan solat dan ada yang membatalkannya terus. Yang penting, hendaklah setiap individu Muslim yang
melaksanakan solat peka bahawa dia sedang bermunajat kepada tuhannya, Allah 'Azza wa Jalla. Maka hendaklah dia memerhatikan adabnya apabila sedang bermunajat. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menegur seorang lelaki tentang solatnya:
Wahai fulan, apakah kamu tidak takutkan Allah? Tidakkah kamu memerhatikan bagaimana kamu solat? Sesungguhnya apabila seseorang kamu melaksanakan solat sesungguhnya dia tidak lain berdiri bermunajat kepada tuhannya. Maka hendaklah dia memerhatikan bagaimana dia bermunajat (kepada-Nya). [Shahih Ibn Khuzaimah – hadis
no: 474 dengan isnad yang dinilai hasan oleh Muhammad Mustafa al-`Azami]

Kelima: Berzikir di antara solat Tarawih



Ini adalah antara amalan yang dipandang baik oleh orang ramai padahal Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memandang baik untuk berzikir dengan bacaan atau cara tertentu apabila sedang berehat di antara solat Tarawih. Seandainya berzikir apabila sedang berehat di antara solat Tarawih adalah sesuatu yang baik, maka pasti Allah dan Rasul-Nya akan menganjurkannya sehingga dilaksanakan sepenuhnya oleh generasi awal umat Islam. Namun anjuran ini tidak pernah wujud dan perlaksanaannya juga tidak pernah diketahui. 

Berzikir secara umum sememangnya suatu amalan yang tidak dibatasi oleh bentuk, tempat dan waktu. Akan tetapi apabila seseorang itu mengkhususkan zikir kepada bentuk, tempat dan waktu yang tertentu, bererti dia telah mengkhususkan apa yang tidak dikhususkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Hal ini termasuk dalam kategori mereka-cipta sesuatu ibadah yang baru di dalam kesempurnaan agama Islam dan ini adalah perbuatan yang dilarang.

Followers